Tuesday, September 1, 2009

Melihat dari sudut pandang lain



(under construction)

Monday, August 31, 2009

Raja' (dan khauf)

Ath Thalaq (65):2-5

2. Apabila mereka Telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu Karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar.

3. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.

4. Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.

5. Itulah perintah Allah yang diturunkan-Nya kepada kamu, dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya.

Ayat diatas sering disebut dengan ayat seribu dinar. Digantung di mobil, dipintu rumah dan sebagian didalam bingkai yang indah karena dipercayai akan mendatangkan rezeki. Sayang sekali ayatnya hanya digantung tetapi tidak diamalkan, sehingga taqwa sebagai syarat makhraja, haitsu la yahtasib, min amrihi yusro dsb tidak terjadi. Bukan karena ingkar (karena Allah tidak pernah ingkar janji), namun syarat untuk terpenuhinya janji tersebut tidak ada. Harapan besar tanpa usaha akan sia-sia.

Pada bulan ramadhan inilah kita punya kesempatan besar untuk berusaha memenuhi prasyarat taqwa, sebagaimana ayat 2:183 la’allakum tattaquun. La’alla, suatu perkataan yang mengandung probabilitas (atau posibilitas) sangat besar. Hampir pasti terjadi jika kita menjalankan puasa secara normal. Normal dalam hal ini tentu saja ukurannya Rosul, bukan normalnya orang gak normal. Kita masih ingat dengan perkataan nabi : Man shooma romadhoona imaanan wahtisaaban ghufiro lahu maa taqoddama min dzanbihi. (Au kama qoola). Barang siapa berpuasa romadhon dengan penuh dengan keimanan dan penuh harapan maka diampuni dosa2nya yang telah lalu.

Menarik sekali perkataan kanjeng nabi diatas. Man shooma artinya ada saja orang yang berpuasa dengan prasyarat adanya keimanan dan pengharapan yang mafhum mukholafahnya ada juga orang yang nggak kayak gitu (tanpa keimanan atau penuh pengharapan). Jadi kalau diklasifikasi orang islam pada bulan ramadhan ada beberapa type :

  1. berpuasa dengan keimanan dan penuh pengharapan
  2. berpuasa dengan keimanan tetapi tanpa terlalu mengharapkan
  3. berpuasa dengan tanpa (kurang) keimanan tetapi dengan penuh pengharapan
  4. berpuasa dengan tanpa (kurang) keimanan dan kurang pengharapan
  5. tidak berpuasa tanpa udzur syar’i

dan ternyata hadits diatas hanya berbicara dengan type 1 saja. Usaha tanpa harapan besar juga sia-sia. Lalu bagaimana baiknya ? tentu saja dengan keimanan dan harapan yang besar kepada Allah.

As Sajdah (32) :15-16

15. Sesungguhnya orang yang benar benar percaya kepada ayat ayat kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat ayat itu mereka segera bersujud seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah sombong.

16. Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa apa rezki yang kami berikan.

Allah mensifati orang yang benar-benar beriman, salah satunya adalah selalu berdoa dengan penuh rasa takut dan harap. Mungkin Umar bin Khotob merupakan sosok yang cukup bagus untuk diteladani dalam ihtisaaban atau roja’. Dia mengatakan seandainya ada seribu orang yang masuk sorga dan satu yang masuk neraka maka aku takut yang satu itulah aku. Seandainya ada seribu orang masuk neraka dan satu yang masuk sorga maka aku berharap satu itulah aku.

Sifat takut dan roja’ terkait dengan hadits ke-4 arba’in nawawi. Seandainya kita telah berbuat baik maka hanya kepada Allah lah kita harus memuji dan berusaha untuk istiqomah dengan amalan baik. Jika kita melakukan keburukan maka yang pantas dicaci maki hanya diri kita sendiri, tetapi jangan putus asa dari rahmat Allah.




Mari kita isi sisa ramadhan tahun ini dengan berlomba2 berbuat baik. Jadikan ramadhan ini adalah ramadhan terbaik yang pernah kita temui.

(dari berbagai sumber)

Sunday, August 23, 2009

Mengatasi Lupa

Semua orang punya kelemahan, dan kelemahan saya yang paling mendasar adalah pelupa untuk hal-hal yang detail/kecil. Seperti lupa tidak makan, lupa menaruh kunci, lupa bawa buku, lupa bawa alat tulis, lupa waktu ngirim email menggunakan account yang tidak terdaftar di milis dsb. Tetapi Alhamdulillah walaupun demikian saya belum pernah lupa keluar rumah gak pake baju.

Seminggu lalu kamar saya terkunci karena kunci tertinggal didalam kamar. Perlu dimaklumi bahwa pintu yang digunakan disini adalah pintu satu sisi, istilahnya apa ya ? Kalau orang daerah saya bilangnya pintu wese (WC), belum tentu bisa masuk –kalau ada orang didalam- tetapi kalau sudah didalam pasti bisa keluar. Masalahnya justru jika kita tekan tombol kunci kemudian pintu kita tutup, otomatis mengunci.

Saya cari kesalahannya, oh ya ternyata ada. Mungkin yang paling besar dalam pikiran saya adalah amalan saya yang tidak ikhlas dan cenderung berorientasi kepada dunia. Saya beristighfar dan berdoa semoga Allah mengampuni semua kesalahan saya. Saya yakin Allah pasti akan membukakan pintu itu jika saya tidak lagi berdosa besar. Ada kawan yang menyarankan untuk menjebol pintu atau mendatangi tukang kunci dengan bayaran RM30. Saya bertahan, pasti Allah memberi jalan. Tidak lama kemudian Pak Suman, tetangga yang menjadi TKI dan berasal dari Jawa Timur bertamu. Saya spontan tanya apakah pemilik rumah punya serep kunci ? singkat cerita Pak Suman punya teknik khusus membuka pintu. Sangat simple, hanya dalam hitungan menit, pintu digethok untuk memberikan efek kejutan. Subhanallah Allah menolong dengan caraNya sendiri. Alhamdulillah saya bisa masuk kamar.

Hari senin tanggal 20 Juli (2008) ini sewaktu akan ke kampus, kamar saya terkunci lagi. Lagi-lagi kesalahan yang sama, saya beristighfar dan minta pertolongan kepada Allah. Saya tidak mau minta tolong kepada orang lain, atau ngetuk pintunya pak Suman, walau rumahnya dekat—saya tinggal di D217 dan pak Suman di D210, Taman Tenaga. Pasti ada kesalahan besar yang lain yang saya lakukan, sepertinya masih masalah ketidak ikhlasan, ibadah yang tidak khusyu’, sebagai contoh ketika sholat kok pikirannya kemana-mana. Saya berusaha memperbaiki ibadah saya, terutama adalah ketidakkhusyu’an dalam shalat. Sehabis Isya’ saya coba lakukan seperti yang dilakukan kang Suman, ternyata gagal. Jadi masalahnya adalah pada diri saya, bukan teknis membuka pintu. Kayaknya shalat maghrib dan Isya’ saya masih belum benar nih.

Karena semua barang saya termasuk sajadah didalam kamar, saya shalat malam di surau. Di tengah jalan saya dihadang 5 ekor anjing yang menyalak sambil mendekati saya dan kelihatannya mau menggigit, sampai jaraknya kurang lebih 1,5 m, waak dosa saya besar sekali ya ? sampe 5 anjing sekaligus mau nggigit. Saya teringat kalau anjing punya pendengaran infrasonik, artinya bunyi detak jantung kita yang makin cepat akan diidentifikasi sebagai ‘salah’ sebagaimana alat lie detector bekerja (kebalik, lie detector niru cara kerja anjing). Saya teringat..alaa bidzikrillahi tathmainnul quluub, maka sambil berdzikir dan berdoa saya beri isyarat supaya anjing menyingkir, karena kita sama-sama hamba Allah. Dan saya ke surau untuk beribadah kepada Allah. Allah memberi kemudahan, anjing menyingkir.

Selesai subuh ini seorang tamu mengetahui pintu saya terkunci. Dengan gaya McGyver dia ambil botol plastik bekas aqua (maksud saya aqua nya malaysia yang gak tahu mereknya), kemudian digunting dan beberapa menit kemudian pintu terbuka. Sangat simple, sama dengan pak Suman. Tidak lebih dari 2 menit. Subhanallah, sebagaimana saya sangka sebelumnya. Pasti Allah menolong dengan caraNya sendiri.

Lalu apa hubungannya dengan judul diatas ? sebagai orang statistika (lho kok di Engineering ? anggap saja salah masuk) saya terbiasa mengamati dan membuat pola-pola, modelling terhadap data. Apalagi bidang saya Time Series. Saya mencoba merekonstruksi –terlalu tinggi ya istilahnya—kapan saya lupa ? pada saat apa saya lupa ? Rumitnya orang yang pelupa biasanya lupa kapan dia lupa. Saya teringat dengan tulisan di majalah Ishlah yang memuat tulisan dengan judul “menata waktu dengan dzikir”. Saya juga teringat dengan QS 59:19. Semuanya berkorelasi, bahwa lupa (melupakan diri sendiri) sangat terkait erat dengan melupakan Allah. Maaf saya tidak sedang menafsirkan ayat, kalau ada tafsiran yang lebih tepat mohon asatidz meluruskan karena saya masih belajar alif-ba-ta’. Jadi kalau saya lupa sesuatu pastilah karena ketidak becusan saya dalam menata hati ini agar semua aktivitas diridhai Allah. Mohon selalu mengingatkan hamba yang dhaif ini. Saya juga mohon maaf jika banyak tulisan saya yang menyakitkan sehingga sepantasnyalah saya mendapat hukuman. Sepertinya itu juga pertanda bagi saya, jangan terlalu banyak nulis yang tidak-tidak. Saya diem2 dipojokan saja ya ? sambil menyelesaikan tugas dosen.

Stigma, Klaim, dan Realitas

Stigma

Stigma sering disebut dengan istilah yang lain, yaitu stempel, tuduhan, cap, yang dilekatkan pada seseorang/organisasi. Stigma memudahkan kita untuk menyimpulkan atau mengambil tindakan tetapi diwaktu lain menjerumuskan kepada suatu sikap atau tindakan yang salah. Stigma akan membentuk frame, kerangka (atau kerangkeng ?) berpikir kita. Ibarat sebuah peta, jika kita bisa mengatakan bahwa letak suatu lokasi yang kita cari di jalan Ahmad Yani maka kita akan mudah mencari lokasi itu. Tetapi jika kita salah mengidentifikasi (misalkan yang kita sangka berada dilokasi A Yani ternyata di Jl Urip Sumoharjo) maka seumur hidup tidak akan pernah ketemu dengan lokasi itu.

Stigma terbentuk karena kesamaan ciri atau kemiripan yang akhirnya kita katakan sebagai in grup, dalam bahasa matematika dengan himpunan atau bahasa statistika dengan clustering. Benda/orang/obyek yang kita identifikasi mempunyai kesamaan dengan kumpulan benda/orang/obyek maka kita anggap benda/orang/obyek itu “pantas” untuk dijadikan satu kumpulan/kelompok.

Stigma lahir seringkali untuk tujuan simplifikasi, kemalasan berfikir, “kebodohan”, atau keengganan untuk mencari kebenaran karena merasa diri sudah benar dan sempurna walaupun tidak mau mengakui secara dhahir(lisan/tulisan) = sombong (lihat definisi sombong menurut hadits). Kadangkala orang melahirkan stigma didorong karena kegagalannya melihat intisari masalah, lebih melihat baju daripada isi kepala, melihat kulit dibandingkan isi, melihat atribut dibandingkan esensi. Tempo doeloe seseorang bisa dengan mudah dicap sebagai anti-pemerintah jika melakukan kritik terhadap pemerintah. Kritikan dipandang sebagai penentangan bukan upaya perbaikan, agar kebijakan atau aturan lebih sesuai dengan amanat nasional (jangan dikasih stigma PAN ya ?). Tidak setuju terhadap saya berarti anti-pemerintah. Saya adalah negara. Syndrom membesarkan “aku” berhubungan erat dengan syndrom stigmaisasi. Memandang Aku sebagai sebuah kebenaran sedangkan lawanku (bukan partner diskusi lagi) adalah kelompok orang yang menentang kebenaran. Aku adalah orang yang berilmu sedangkan lawanku kumpulan orang bodoh. Pendapatku merupakan pendapat para ahli sedang orang yang menentangku cuma mahasiswa. Pendapatku berdasarkan Kitab yang benar sedang lawanku tidak punya dasar kecuali mengakal-akali. Pendapatku berdasarkan sejarah yang telah terbukti sedang lawanku hanya hipotesis dan dari realitas yang gagal.

Kalau kita mau sedikit berpikir, sebenarnya sangat mudah untuk melihat secara fokus apa yang menjadi tema atau bahasan suatu pembicaraan/tulisan. Mengapa orang tidak setuju, dimana letak persamaan dan perbedaannya ? apa argumentasinya ? apakah pendapat saya yang kurang argumentatif ataukah pendapat saya dipahami dengan pengertian lain ? Instropeksi semacam itu lebih penting daripada menanyakan : orang yang tidak setuju dengan pendapat saya ini dari kelompok mana ya ? punya maksud apa kok tidak setuju terhadap kebenaran yang saya tuliskan ? apakah orang ini beriman ? tipu daya apa yang dilakukan untuk menghalangi perjuangan membela kebenaran yang saya lakukan ?
Marilah kembali ke realitas, batasi diskusi hanya pada topik. Jangan sangkut pautkan dengan tujuan penulisan, latar belakang penulis, atau yang lainnya yang kadang-kadang mengaburkan masalah.

Klaim
Kalau ini nih merupakan kebalikan dari Stigma. Klaim merupakan bentuk ketidakberdayaan dan rendah diri alias minder atawa tidak PD (percaya diri, ntar saya dicap pendukung Partai Demokrat. Sebagai kewaspadaan karena menulis singkatan atau kata-kata yang bisa diidentifikasi mempromosikan partai he3x). Seseorang/kumpulan orang mengklaim/mengaku dari kelompok/komunitas tertentu untuk meng-upgrade citra bahwa seseorang/kumpulan orang tersebut memang benar-benar memiliki sifat/keadaan sesuai dengan yang dicitrakan. (Walaupun saya lebih suka melihat dengan sangka baik bahwa penamaan/pencitraan itu sebagai upaya memotivasi diri agar sesuai dengan citranya). Klaim seringkali pada hal-hal baik, walaupun adakalanya orang yang “sakit” (meminjam istilahnya Detak, mantan presiden BEM ITS) akan mengklaim dengan hal-hal buruk seperti, seorang preman menjuluki dirinya rajatega agar orang-orang takut, jangan-jangan orang tersebut akan melakukan apa saja jika keinginannya tidak terpenuhi. Seseorang dengan mudah mengaku sebagai intelektual, pemikir, golongan anu, kelompol ini dan sebagainya karena dengan melakukan itu akan terangkatlah derajatnya. Tetapi pentingkah itu ? sekali lagi klaim hanyalah kulit. Abdullah bin Ubay bin Salul mengklaim sebagai mukmin, bahkan matinya pun ditutupi dengan selendang Rosul, tetapi sejatinya gembong munafik. Abdullah bin Ubay bin Salul merupakan salah satu contoh orang yang mementingkan klaim daripada realitas.

Ali bin Abi Thalib ra mengatakan “seorang pemuda adalah orang yang berani mengatakan :Inilah saya, bukan Inilah bapak saya”. Masih disebut anak-anak bagi siapa saja yang beraninya berlindung dibawah ketiak “bapak”. Bapak dalam pengertian luas adalah organisasi, kumpulan, komunitas, dan apa saja sehingga dengan itu merasa lebih tinggi daripada kualitas diri sebenarnya. Sehingga kita bisa tuliskan :
“Inilah saya, bukan Inilah organisasi saya”
“Inilah saya, bukan Inilah kenalan-kenalan saya orang top”
“Inilah saya, bukan Inilah universitas saya”
“Inilah saya, bukan Inilah parpol saya”
“Inilah saya, bukan ……………………………………” silakan diteruskan.

Maka saya berani mengatakan : Inilah saya, orang bodoh yang sedang belajar dan mencari kebenaran. Bagaimana dengan anda ? beranikah menanggalkan semua atribut dan baju dengan mengedepankan diri anda ? Bukan jamannya lagi klaim dan stigma.

Terakhir saya sitirkan kata mutiara yang isinya dalam dan sering ditulis oleh almarhum Prof Riswanda Imawan, kurang lebih “Burung Elang selalu terbang sendirian”.

Cikar Intelek

(refleksi peran mahasiswa menjelang pileg09 di milis PPIM)
--------------------------------------------------------------------------------------------
Dalam tulisan yang serius biasanya didahului dengan definisi, cikar adalah kendaraan yang ditarik oleh satu atau dua ekor sapi, biasanya untuk mengangkut hasil panen dari sawah untuk dibawa ke lumbung atau tempat penyimpanan. Tetapi yang mau saya ceritakan ini bukan cikar sembarang cikar, tetapi cikar intelek. Apa bedanya ? kalau cikar intelek yang diangkut bukan hasil panen tetapi anak-anak yang menamakan diri gang intelek, atau minimal sok intelek. Asal nyebutnya jangan dipisah : In telek (didalamnya/isinya ….) he3x.

Syahdan di negeri yang belum ada angkutan modern seperti jaman kiwari, orang bepergian dari satu tempat ke tempat lain masih menggunakan bysikil atawa jalan kaki. Yah, paling banter naik cikar. Ditempat itu juga, yang namanya bisa membaca merupakan barang langka. Bisa sekolah SD saja sudah hebaaat, karena harus memenuhi beberapa persyaratan : ayahnya cukup kaya sehingga tidak perlu memperkerjakan anaknya, ayahnya punya kesadaran pentingnya pendidikan, anaknya termotivasi untuk sekolah. Sehingga anak sekolah termasuk golongan elit…………

Suatu ketika, dalam salah satu episode … kelima anak elit itu akan berangkat ke sekolah, sebutlah Bisul, Cerewet, Dodol, Sakit, dan Jumawa (nama-nama dibuat seperti itu supaya tidak ada yang sama dengan realitas). Setiap pagi berangkat dengan menyewa cikar, begitu pula saat pulang akan dijemput oleh cikar, cikar yang sama, pilot (biar kerenan dikit dibanding kusir) yang sama, melalui jalan yang sama, dan waktu yang hampir sama. Sebuah rutinitas yang menjemukan. Tetapi kesamaan itu pulalah yang mengantarkan mereka untuk menyebut diri mereka sebagai geng (atau gang) elit, mirip kubu elit, “geng intelek” dan kendaraan yang mereka tumpangipun naik derajat menjadi “cikar intelek”. Padahal sih itu hanya sebutan saja, cikarnya tetap cikar biasa, dengan roda, sapi, cemeti dan perangkat yang sama persis dengan cikar lain. Hanya karena sering mengangkut (kata yang lebih tepat daripada dinaiki) para pelajar sahaja lah cikar ini naik pangkat. Itulah manusia, lebih sering terjebak dengan simbol dan wadah daripada isi.

Hey… ngelantur, kembali ke laptop. Cerita tentang perjalanan ke kampus elit : SDN Gurunya Satu (SDN GS). Seperti biasanya ketika matahari terbit dari punggung bukit, dan ujung bayang-bayang bukit sudah menyentuh atap rumah, itu pertanda waktu berangkat. Waktu yang menyenangkan bagi lima intelek, karena menggunakan seragam gagah, bertopi dan membawa tas dari anyaman jerami. Mereka menikmati status sebagai pelajar, menikmati tatapan kagum anak-anak yang tidak beruntung bisa menikmati sekolah karena desakan ekonomi. Walaupun secara IQ belum tentu pelajar lebih pintar dan lebih punya hati, tetapi seragam sudah membedakan. Seragam sebagai simbol status yang menunjukkan betapa mereka termasuk kelompok elit.

Di dalam cikar, posisi standar, posisi yang sudah diatur : duduk paling depan Pak Kusir (eh pilot) yang mengendalikan sapi, dibelakangnya duduk saling berhadapan dengan menyandar dinding Sakit dan Jumawa, lebih belakang dengan posisi yang sama Dodol dan Bisul, serta satu orang yang memilih posisi mencangkung menghadap belakang : Cerewet. Setiap berangkat Cerewet memasang tampang senyum sinis dengan menyedekapkan tangan didada seperti pose-nya jenderal McArthur. Merasa seakan-akan menjadi jenderal bagi keempat rekannya.

”Jom berangkat, sudah jam tujuh ”, kata Cerewet. (kelihatan nulisnya gak konsentrasi ya ? mana ada kosakata melayu dan saat itu belum ada jam-lah, masih pake matahari). Merekapun berangkat, melalui rute yang sama : Hutan Sunyi, Jembatan Buaya, Sekolah. Ulangi : Hutan Sunyi, Jembatan Buaya, Sekolah (ingat Dora gak ya ?!). Setiap melalui hutan sunyi, seperti biasa Cerewet akan berpidato dengan isi gak karu-karuan, mengkritisi sana sini, menghujat si A dan B seakan-akan menjadi Bung Karno yang sedang mengobarkan semangat revolusi. Si Sakit yang memang bertampang sakit selalu dengan licik memanfaatkan situasi untuk kepentingan dirinya. Sedangkan Jumawa yang sangat sok intelek selalu mengejek dan membodoh-bodohkan si Cerewet karena salah diksi, kalimat tidak nyambung, mempertanyakan isi pidato yang sering memasalahkan sesuatu yang tidak masalah karena masalah orgasme intelektual saja. (wah saya dapat masalah nih, masalahnya kalimat tersebut mengandung banyak kata masalah). Dodol, sesuai dengan namanya, memuji-muji si Cerewet agar terlihat mengerti isi pidato, padahal untuk menutupi dodolnya. Bagaimana Bisul ? biasa... karena dia langganan kena bisul menjadi tidak tenang duduknya. Kurang ajarnya, bisul itu selalu tumbuh di pantat, membuat tidak nyaman untuk duduk. Boro-boro mengomentari isi pidato, merasakan sakitnya bisul udah gak ketahan lagi. Pengen marah saja bawaannya. Masih ada satu pelaku, sang pilot. Dia biasa menanggapi semua muntahan bayi-bayi sok dewasa dengan senyum arif orang tua. Tidak ada yang tahu, bahwa sang pilot yang pernah lulus SMP, kenyang dengan pengalaman dan bacaan buku. Pernah merantau ke banyak negeri dan menyeberangi lautan, bertemu dengan bermacam orang dan karakter menjadikan dia sebagai seorang pribadi matang dan mudah memahami orang. Tidak mudah terpancing emosinya. Sumpah serapah tidaklah dibalas dengan email serupa. (dimana sih kejadiannya ? kok ada email segala ?). Tapi yang jelas, menjadi pilot cikar intelek adalah pengabdian kepada desanya, karena lulusan SMP paling tidak bisa menjadi kerani atau klerk.

Kadang-kadang masalah tidak selesai disini, si Cerewet sering mengkritisi (tepat nggak ya ? mungkin lebih tepat mencereweti) apa yang dilakukan oleh pilot. Pilot yang memelankan sapi karena memberikan kesempatan kepada bebek yang akan menyeberang jalan bisa disumpahi sebagai menghambat karier calon pemimpin negara, otoriter karena tidak konsultasi dahulu dengan penumpang, sok sosial dan sok toleran serta seribu satu nama hewan dikebun binatang keluar semua.

Hari ini, penghuni cikar intelek sedang terlibat konflik yang cukup keras ketika cikar harus melalui jembatan buaya. Sang pilot sudah kenyang makan asam garam (kayaknya pepatah yang salah ya ? makan asam dan garam rasanya gak bisa kenyang deh ?). Sang pilot bisa membaca tanda alam. Kesunyian yang tidak biasa, desir angin yang lebih mirip bisikan daripada elusan lembut, tidak ada celotehan itik, atau suara jengkerik. Sepi. Senyap. Sunyi yang mengerikan. Dia merasakan, beberapa puluh meter kedepan, di sekitar jembatan buaya sepertinya akan ada pesta besar-besaran. Pesta lima tahunan. Dari cerita turun temurun memang ada legenda itu, buaya akan menghadang siapa saja yang akan lewat, tetapi yang aneh itu dilakukan hanya sehari dalam setiap lima tahun. Pesta pora buaya yang akan melahap rakyat jelata (eh, manusia).

Tetapi orang-orang dewasa waspada
Buayapun bisa membaca, Jika manusia bisa menerka
Karena itu buaya membuat upaya
Sayangnya manusia tidak tahu, muslihat apa

Sang pilot berpikir cepat
dia membelokkan arah cikar secepat kilat
melalui jalan alternatif dengan medan yang berat,
jarak jangkau pun tiga-empat kali lipat

Para buaya kecewa sekali
jebakannya diketahui
Mangsa didepan sudah lolos dan lari
Keciaaan deh lo, kena batunya kali ini

Tapi buaya terkenal licik dan raja tega
Padahal tekad berpesta sudah membaja
Buaya berpikir akan semua cara
Hati-hatilah hai para manusia

Tetapi efeknya bagi penghuni ato penumpang sungguh tak disangka, semua penumpang protes keras ! Si Bisul yang biasa meringis karena menahan sakit, sekarang tidak bisa lagi sekedar meringis. Jalan yang benjol-benjol membuat sang bisul serasa meletus. ”Pilot kurang ajar !, sengaja ya ?! dendam karena ditolak sama tante gue ya ? udah tahu bokong gue penuh bisul, malah dilewatin jalan yang kelihatan mulus kalau dilihat dari bulan”. Sang Cerewet berkomentar , ”Dasar pilot bodoh, kenapa milih jalan yang ginian, napa ndak milih jalan mulus dan dekat ? coba kalau kalau gue jadi pilotnya”. (pasti ditelan buaya... begitu ya pembaca). ”Sudah gitu, gak pake nanya-nanya atau konsul ke pakarnya lagi ”–sambil nunjuk dadanya sendiri. ”Tul, kata Cerewet, memang pilot bodoh dengan alasan persis seperti tadi”, kata Dodol. Sakit koment, ”Dulu juga apa gua bilang, coba gua yang jadi pilot”. (gak nyambung ya ?. kan Sakit masih kecil. Siapa yang mbisikin untuk nulis kalimat ini ?). Tapi harap dimaklumi pembaca, karena Sakit yang kadang dodol tapi oportunis. Pilot berkomentar singkat,” untuk menyelamatkan kita semua, jalan harus memutar”. Dia tidak bisa berkomentar banyak karena sedang sibuk menghindarkan cikar dari nabrak batu sebesar kepala kerbau atau tunggul beringin yang hampir mati. Tidak peduli pohon apa atau batu segi berapa. Mau segi tiga, empat, lima atau enam beraturan, ini masalah keselamatan cikar intelek, bukan masalah bentuk-bentuk geometris. Tidak peduli warna-warni batu merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu, atau pelangi sekalipun. Sekali lagi masalah keselamatan cikar intelek. Bahkan tidak peduli dengan batu bergambar artis, gambar mayat tokoh besar atau gambar satelit, planet, dan bintang. Tidak juga gambar tumbuh-tumbuhan atau hewan. Atau sekedar coretan-coretan tak bermakna. Ini masalah keselamatan cikar intelek. Bahkan pilot sudah tidak peduli lagi jika nyawa taruhannya (ceileee, romantis sekale...), asal cikar selamat.

Koment singkat itu membuat Cerewet kebakaran rambut (masih SD kan gak punya jenggot ?), ”Hey Pilot geblek, jawab pertanyaan gue. Jangan diam-diam saja, lo kagak punya otak emangnya, dasar kagak sekolah kayak gue”. Cerewet mulai memasang strategi terornya. Pilot yang masih sibuk mengendalikan cikar itu terus konsentrasi untuk keselamatan semua penumpang. Si Cerewet terus berteriak2, si Bisul juga berteriak, salah kebiasaan karena tidak bersih ceboknya ditimpakan ke pilot. Semua tidak puas, tetapi sebenarnya salah siapa ???????

Jumawa berpikir taktis, jangan-jangan si Cerewet jelmaan buaya. Buaya yang menyaru sebagai manusia, alias buaya jadi-jadian. Jangan-jangan ini strategi buaya menjerumuskan cikar intelek dalam jebakan. Diam-diam Jumawa merutuk dalam hati atas kelakuan Cerewet. Jangan-jangan yang menaruh batu-batu bergambar adalah Buaya and the gank, termasuk Cerewet. Kemudian menghasut Bisul untuk ikutan protes, sambil bermuka manis dan dengan dalih demi kepentingan bersama, demi kekompakan cikar intelek, demi independensi, demi kebebasan berpendapat dan demi kian.

Jumawa merasa dipecundangi oleh Cerewet. ”Bullshit, semua”. Tak henti-henti Jumawa merutuk dalam hati, Demi pesta pora para buaya, semua menjadi halal. Cikar hancur tidak mengapa. Pesta dibungkus dengan berbagai macam baju dan asesori yang indah. Ibarat kotoran dibungkus dengan kertas kado.

”Revolusi !!! Revolusi !!!”, teriak Cerewet makin garang. Makin keras melengking, makin kasar dan tidak bermartabat, semakin terlihat keputusasaan dalam nada suaranya karena usahanya untuk mempersembahkan cikar intelek dan seluruh isinya kepada Yang Mulia Raja Buaya semakin mendekati kegagalan.
------

Sudah ah, capek. Sebelum anda bosan membaca, tak sudahi saja ya ? Kalau ada pembaca yang mo nerusin ceritanya dipersilakan.

POLITISI TIGA WAJAH

Kalau ada kawan-kawan mahasiswa sangat apatis terhadap para politisi bahkan antipati dengan mereka, saya memaklumi. Jika ada kawan-kawan yang mati-matian mendukung politisi, saya juga maklum. Tetapi mengapa ada sikap yang sangat berbeda bahkan bertolak belakang ? Jawabnya adalah mereka melihat politisi dari wajah yang berbeda.

Suatu ketika saya punya sahabat yang mengecam (semua) partai dengan sangat keras. –seperti biasa- saya suka memerankan sebagai lawan diskusi dengan melontarkan antitesis terhadap pandangannya. Usut punya usut ternyata memang dia pernah bergaul rapat dengan suatu partai bahkan sudah seperti bagian dari pengurus itu sendiri. Dia sangat kecewa berat karena partai yang didukung dan digawangi para kiai dan lulusan pesantren itu para pengurus elitnya hanya bicara cara memperoleh uang dan kekuasaan (kemudian untuk memperkaya diri). Dia membayangkan kalau pengurus partai yang puluhan (sekali lagi puluhan, 20 bahkan 30 tahun lebih) hidupnya dihabiskan di pesantren cara berpikirnya seperti itu, bagaimana yang tidak pernah mencicipi pesantren ? atau paling banter hanya beberapa tahun nyantri atau sekolah agama ? Suatu alasan yang masuk akal walaupun masih bisa dibantah.

Ambisi untuk memperoleh suatu yang bersifat keduniaan atau menurut kanjeng nabi dengan tantangan terbesar adalah Harta, Tahta dan ta satunya adalah penyakit kronis yang akan selalu diderita oleh manusia, tentu saja ada kekecualian bagi yang terjaga keimanannya.

Wajah itulah yang dimiliki oleh politisi, sosok ambisius akan pasti tersemat dipundaknya. Wajah inilah yang membuat putus asa tidak hanya para pemikir serta kalangan terpelajar, namun orang paling awam pun tidak akan sampai pada cara berpikir mereka. Sudah mendapat gaji besar, eh masih mengambil uang rakyat yang bukan haknya dengan berbagai dalih. Sudah punya istri cantik dirumah, lho masih menggondol perempuan lain. Rumah tidak cukup satu, masih suka tidur di hotel. Usahanya berderet-deret tetapi masih suka memalak pengusaha.

Melihat ’prestasi’ yang berlimpah ini, masih adakah yang mendukung ? Ada, bahkan banyak. Waduh, kok bisa ya ?! Ya, begitulah kehidupan. Pengikut politisi wajah pertama tentu saja tergolong dalam beberapa klasifikasi : Oportunis, tertipu, atau berwatak sama. Sang oportunis dengan mudah bisa ditemui disekitar kita, demi Rp 50.000 dia mau menyontreng nama tertentu tanpa mau tahu akibat selama lima tahun kedepan. Atau seorang mahasiswa yang menjadi KPPSLN mengucapkan (semoga tidak serius), kita jualan suara yuk. Ntar sepuluh ringgit per suara, kalau kita bisa mencontrengkan seribu suara kita dapat RM 10.000. Sebuah transaksi yang riel dibandingkan membuat spanduk, campaign kit atau iklan.

Golongan kedua adalah orang yang tertipu, tertipu wajah manis mereka. Tertipu oleh janji gombal mereka, atau musang berjas rapi. Sedangkan golongan yang ketiga tentu saja adalah memang sudah satu tim dengan sang politisi.

Wajah kedua adalah wajah politisi pejuang. Orang yang ikut dikecam oleh mahasiswa dan pers karena kelakuan politisi wajah pertama. Tidak mau korupsi walaupun berimplikasi dipojokkan oleh anggota garong yang terhormat. Tidak mampu membeli rumah dari gaji, kecuali mencicil. Atau kalau memiliki mobil yang berharga murah. Yang ada didalam pikiriannya adalah rakyat, rakyat dan rakyat. Hari-harinya habis untuk memperjuangkan undang-undang dan peraturan pro rakyat, mengawal ekskutif dengan disiplin. Menjadi penyambung lidah rakyat. Sangat wajar jika mereka mendapat simpati yang luar biasa dari para intelektual (yang benar). Adakah yang membenci ? tentu saja ada. Mereka yang kepentingannya terganggu, entah peluang korupsi, suap dan perilaku hitam lainnya pasti tidak akan tinggal diam. Black campaign dan jebakan maut akan terus memburu mereka, tidak akan dibiarkan mereka berjalan melenggang.

Wajah ketiga adalah politisi medioker, setengah-setengah. Hitam tidak, putihpun juga tidak (jangan sebut warna lain ntar dikaitkan warna partai). Mereka yang masuk politik hanya karena kecelakaan. Artis terkenal untuk vote getter tanpa konsep dan kapasitas yang memadai, tokoh masyarakat yang terpancing masuk parpol karena sekedar punya massa tanpa visi yang jelas atau tokoh mahasiswa tertipu oleh pimpinan parpol karena pintar berdebat dan janji cepat kaya dan terkenal adalah beberapa diantara daftar panjang orang yang tertipu. Kelakuan mereka yang sering berbuat baik, kadang-kadang menipu rakyat. Atau sering menjerumuskan rakyat dengan peraturan dan undang-undang tanpa menyadari sepenuhnya bahwa apa yang dilakukan sudah menyengsarakan rakyat. Menjadi anggota dewan hanya mengikuti arus dan berdasarkan pengalamannya yang pas-pasan tanpa mau belajar giat untuk mempersembahkan prestasi terbaiknya untuk bangsa.

Lantas bagaimana sikap kita ? Tentu saja tidak fair kalau kita ekstrim kiri dengan menganggap semua politisi jahat kemudian kita golput. Sama tidak fairnya dengan ekstrim sebaliknya menganggap semua politisi baik. Yang penting adalah, menemukan politisi yang benar-benar berjuang untuk rakyat.

Hitam dan Putih

Kalau diperhatikan, banyak orang Indonesia yang skeptis terhadap dunia politik Indonesia. Yang paling menonjol adalah berita tentang Parpol dan DPR (anggota parpol juga). Kita bisa mendaftar kata-kata paling populer jika dikaitkan dengan parpol adalah : Korupsi dengan berbagai dalih, Ngelencer (jalan-jalan), Bermain wanita (bagi yang pria, kalau yang wanita ada yang bermain laki2 tidak ya ?!). Banyak komentar : untuk menguntungkan diri/kelompok/partainya, tidak sensitif terhadap kehidupan rakyat dan semacamnya. Seburuk itukah ? jawabnya bisa ya, bisa tidak.

De Bono menulis tentang cara pandang terhadap suatu hal dengan istilah “topi”; dengan judul buku “lima topi berpikir” dia mendeskripsikan 5 cara orang memandang suatu masalah : Hitam, Putih, Biru, Merah, Kuning. Saya tidak membahas buku de Bono, kalau tertarik bisa baca sendiri. Saya hanya membahas cara pandang partai dari sudut pandang Hitam dan Putih.

Pada dasarnya tidak ada manusia yang 100% hitam dan 100% putih (mungkin hanya nabi yang ma’shum), begitu juga organisasi dengan parpol termasuk dalam klasifikasi ini. Seorang agen polisi Italia pernah menuliskan kisahnya dalam menyusup ke organisasi mafia (mungkin yang terkenal adalah yang berasal dari Sicilia, dan sudah difilmkan a.l. Godfather). Dia menyusup ke mafia beberapa kali, dengan kesimpulan : penghormatan, kesetiaan dan keteguhan memegang janji dalam dunia mafia lebih baik dibanding dalam dunia normal. Dalam dunia yang kotor, penuh dengan pembunuhan, sabotase, perdagangan narkoba, pelacuran dan sebagainya masih ada beberapa titik positif. Bagaimana dengan parpol ?

Kalau Hitam bisa diwakili dengan angka nol dan putih satu, maka Parpol –dalam pandangan saya— semuanya ada pada daerah abu-abu, atau kira-kira terletak antara 0,01 sampai 0,99. Jadi kalau parpol berada pada skor 0,01 hampir bisa dipastikan kalau hampir keseluruhan tindakannya adalah untuk kepentingan sendiri, tega terhadap nasib bangsa ini. Kalau skor 0,99 mungkin visi, misi, platform, arah kebijakan partai, program, kegiatan semuanya baik; hanya human error yang manusiawilah yang menyebabkan tidak mendapat nilai 1,00.

Kalau orang bertopi hitam (meminjam de Bono) maka cara memandang sesuatu dari sisi hitamnya. Semua partai bejat, amoral, tukang keruk kekayaan negara, penindas rakyat (dengan membaca berita ada beberapa anggota dewan yang tertangkap KPK). Setiap kebajikan yang dibuat oleh seorang anggota dewan atau tokoh sebuah partai akan disikapi sebagai : Mencari muka, kampanye, menarik simpati agar dipilih. Jika berbuat keburukan akan disikapi sebagai : Itu sudah kelakuannya, tidak kagetlah, baru terungkap keburukannya yang selama ini tersembunyi.

Apa akibatnya ?

Ada kecenderungan stigma Boldburuk yang kita lekatkan pada seseorang/organisasi/obyek akan berakibat membawa persepsi pada obyek suatu efek asosiasi (wah tanya sama orang psikologi ya). Obyek akan mengasosiasikan dengan stigmanya, atau ‘berusaha memenuhi’ stigma yang dicapkan pada dirinya. Kalau terjadi yang demikian, menurut saya menjadi suatu preseden buruk bagi dunia kita. Saya tidak bilang dunia perpolitikan kita, karena pada dasarnya politik adalah panglima. (Benarkah ?). Coba kita cek fakta berikut ini :

Penguasa riel didunia sekarang adalah Amerika dan Israel/Yahudi. Apapun yang dikatakan oleh mereka akan menjadi kebenaran. Benar kata Amerika, maka benarlah. Salah kata Amerika maka salahlah.

- Israel (saya tidak menyebut sebagai negara, mungkin lebih tepat disebut gerombolan) telah membunuh rakyat palestina lebih banyak dibandingkan yang dilakukan oleh (klaim mereka) Jerman terhadap yahudi. Tetapi bisa dilihat dalam sejarah, film, kebijakan negara dan sebagainya : Yahudi harus dikasihani, yahudi sebagai korban. Palestina adalah teroris, bahkan dalam suatu pemilihan ketika rakyat memilih Hamas pemerintah amerika dan gerombolan yahudi bisa membalik-balik opini. Ketika dalam konferensi menlu di Afrika akan diambil suara tentang posisi Israel yang sebagai pihak/organisasi/negara yang melakukan kejahatan : semua negara setuju, kecuali negara Amerika, Israel yang tidak setuju dan satu abstain. Tetapi apa yang terjadi ? dengan loby (lebih tepat intimidasi) akhirnya satu-persatu negara-negara itu menyatakan tidak setuju.

- Irak sudah hancur tanpa bukti dan argumentasi yang sah untuk invasi. Tetapi siapa yang benar ? Amerika dengan dalih pre-emtive attack.

- Amerika, Rusia, India, Prancis, Israel punya senjata nuklir mengapa Iran yang dikejar2 ?

Apa kata PBB ? (tanya rumput yang bergoyang—Ebiet)

Yang topi putihnya mana ? (ya kebalikan topi hitamlah)

Kalau politik sangat mempengaruhi kehidupan kita, apa yang bisa kita lakukan ? dengan memaki-maki ? menurut saya tindakan yang memadai adalah dengan mengambil tindakan nyata. Ada usulan kongkret ?

Dunia tanpa ekspresi

Tiga anak kecil yang berlainan bangsa dan tentu saja berlainan bahasa sedang bercakap-cakap dan bermain bersama. Pertanyaannya, pake bahasa apa ya ? Jawabnya mudah tentu saja pake bahas ibunya (masing2). Makanya kalo kita pake bahasa daerah disebut pake bahasa ibu. Tetapi ada pertanyaan yang lebih dalam, mengapa mereka bisa berkomunikasi ? Mereka menggunakan bahasanya sendiri-sendiri mereka bisa memahami apa yang diinginkan oleh yang lainnya. Mereka bahkan tidak perlu belajar memahami apa yang dikatakan oleh kawannya. Tidak perlu English proficiency test dan bayar RM1050. Mereka hanya belajar membaca ekspresi kawannya untuk mengetahui, bahwa kawannya minta diambilkan bola. Membaca mimik dan gerakan tangan untuk mengetahui bahwa kawannya mengajak suit untuk menentukan giliran main.

Tahun berganti, maka sang anak akan belajar bahasa sebagai alat komunikasi utama. Tidak ada yang memungkiri bahwa bahasa adalah alat komunikasi yang paling efektif. Tidak pernah satu haripun diantara hari-hari kita yang kita lalui tanpa menggunakan bahasa. Kita makan diwarung, membeli sesuatu ke toko, minta tolong, bahkan mengungkapkan perasaan menggunakan bahasa. Adakah diantara kita yang pernah mencoba dalam sehari saja tanpa menggunakan bahasa ? Tetapi tahukah akibat berkomunikasi menggunakan bahasa tanpa ekspresi ?

Mungkin ada tanda baca yang membedakan suatu kalimat. Mungkin masih ada yang ingat nyanyian anak SDIT Insan Kamil, Sidoarjo yang belajar bahasa Indonesia ....

”Kini aku tahu, menulis dan membaca,

Jika kalimat memberi tahu, gunakan titik diakhir kata,

kalimat perintah, tandanya seru

kalimat tanya, tanda tanya”

tetapi, bahasa tanpa ekspresi menjadi hambar. Seperti masakan tanpa garam, kata ibu-ibu/teteh/mbak/neng/uni. Bisa terjadi kesalahpahaman yang menyebabkan sesuatu yang tidak seru (.) menjadi seru (!).

Diskusi yang dimaksudkan untuk menjembantani perbedaan justru gagal membuat jembatan itu, bahkan yang terjadi adalah jarak yang makin lebar. Maksudnya sekedar bercanda, dimaknai serius bahkan dianggap melecehkan oleh pihak diseberang sana. Icon emotion di layar anda mungkin membantu anda mengungkapkan apa yang anda maksudkan, walau kadang tak sepenuhnya. Tetap saja ada yang kurang manakala kita mereduksi komunikasi kita dengan bahasa tanpa ekspresi.

Jika kita terpaksa menggunakan bahasa tanpa ekspresi, apa yang harus kita lakukan ? berhati-hati, dan berlapang dada. Kita harus memilih kata dan kalimat yang sebisa mungkin tidak bermakna ganda, sabarkan diri kita, tahan emosi sewaktu menarikan jemari kita diatas keyboard. Karena pilihan kata atau kalimat yang salah akan bermakna ’perang’ walau bukan itu yang dimaksudkan. Sebaliknya bagi yang menerima pesan harus berbaik sangka, bayangkan bahwa kawan kita diujung komputer sebelah sana sedang tersenyum memberikan kita kalimat-kalimat yang mereka rangkaikan dengan memilih yang terbaik untuk kita. Kalau ada makna yang ganda, pilihlah yang kira2 membuat kita senang. Kalaupun tidak bisa dimaknai begitu maka anggap saja kawan kita salah memilih kata sehingga susunannya menjadi kurang baik.

Jika anda menggunakan email, sedang chatting, sms atau semacamnya berarti anda sedang memasuki dunia tanpa ekspresi. Siapkan mental anda, siapkan emosi anda. Tentu saja disini tidak ada senyuman (kecuali direkam), yang ada hanyalah kata-kata, yang ada hanyalah bahasa tanpa ekspresi.

Jika pada suatu milis atau chatting ada kata-kata yang membuat kita tersinggung bagaimana ? nah ini ada tips-nya. Pertama, tarik nafas dalam-dalam, kemudian hembuskan (jangan ditahan terus ntar kebablasan) sambil merelaks-kan pikiran dengan membaca istighfar, kemudian ulangi beberapa kali. Masih marah ? rubah posisi, kalau tadi duduk sekarang berdiri atau berjalan-jalan sebentar atau say hello sama kawan disamping. Masih tersinggung ? matikan komputer atau sign out dari milis/chatting dan ambil air wudhu. Masih juga tersinggung ? langkah keempat adalah shalat 2 rakaat, karena kemarahan adalah tiupan syaithan. Masih tersinggung juga ? sebaiknya banyak beristighfar dan melakukan kontemplasi, shalat saja tidak bisa meredam marah.

Selamat menikmati dunia tanpa ekspresi.