Sunday, August 23, 2009

Cikar Intelek

(refleksi peran mahasiswa menjelang pileg09 di milis PPIM)
--------------------------------------------------------------------------------------------
Dalam tulisan yang serius biasanya didahului dengan definisi, cikar adalah kendaraan yang ditarik oleh satu atau dua ekor sapi, biasanya untuk mengangkut hasil panen dari sawah untuk dibawa ke lumbung atau tempat penyimpanan. Tetapi yang mau saya ceritakan ini bukan cikar sembarang cikar, tetapi cikar intelek. Apa bedanya ? kalau cikar intelek yang diangkut bukan hasil panen tetapi anak-anak yang menamakan diri gang intelek, atau minimal sok intelek. Asal nyebutnya jangan dipisah : In telek (didalamnya/isinya ….) he3x.

Syahdan di negeri yang belum ada angkutan modern seperti jaman kiwari, orang bepergian dari satu tempat ke tempat lain masih menggunakan bysikil atawa jalan kaki. Yah, paling banter naik cikar. Ditempat itu juga, yang namanya bisa membaca merupakan barang langka. Bisa sekolah SD saja sudah hebaaat, karena harus memenuhi beberapa persyaratan : ayahnya cukup kaya sehingga tidak perlu memperkerjakan anaknya, ayahnya punya kesadaran pentingnya pendidikan, anaknya termotivasi untuk sekolah. Sehingga anak sekolah termasuk golongan elit…………

Suatu ketika, dalam salah satu episode … kelima anak elit itu akan berangkat ke sekolah, sebutlah Bisul, Cerewet, Dodol, Sakit, dan Jumawa (nama-nama dibuat seperti itu supaya tidak ada yang sama dengan realitas). Setiap pagi berangkat dengan menyewa cikar, begitu pula saat pulang akan dijemput oleh cikar, cikar yang sama, pilot (biar kerenan dikit dibanding kusir) yang sama, melalui jalan yang sama, dan waktu yang hampir sama. Sebuah rutinitas yang menjemukan. Tetapi kesamaan itu pulalah yang mengantarkan mereka untuk menyebut diri mereka sebagai geng (atau gang) elit, mirip kubu elit, “geng intelek” dan kendaraan yang mereka tumpangipun naik derajat menjadi “cikar intelek”. Padahal sih itu hanya sebutan saja, cikarnya tetap cikar biasa, dengan roda, sapi, cemeti dan perangkat yang sama persis dengan cikar lain. Hanya karena sering mengangkut (kata yang lebih tepat daripada dinaiki) para pelajar sahaja lah cikar ini naik pangkat. Itulah manusia, lebih sering terjebak dengan simbol dan wadah daripada isi.

Hey… ngelantur, kembali ke laptop. Cerita tentang perjalanan ke kampus elit : SDN Gurunya Satu (SDN GS). Seperti biasanya ketika matahari terbit dari punggung bukit, dan ujung bayang-bayang bukit sudah menyentuh atap rumah, itu pertanda waktu berangkat. Waktu yang menyenangkan bagi lima intelek, karena menggunakan seragam gagah, bertopi dan membawa tas dari anyaman jerami. Mereka menikmati status sebagai pelajar, menikmati tatapan kagum anak-anak yang tidak beruntung bisa menikmati sekolah karena desakan ekonomi. Walaupun secara IQ belum tentu pelajar lebih pintar dan lebih punya hati, tetapi seragam sudah membedakan. Seragam sebagai simbol status yang menunjukkan betapa mereka termasuk kelompok elit.

Di dalam cikar, posisi standar, posisi yang sudah diatur : duduk paling depan Pak Kusir (eh pilot) yang mengendalikan sapi, dibelakangnya duduk saling berhadapan dengan menyandar dinding Sakit dan Jumawa, lebih belakang dengan posisi yang sama Dodol dan Bisul, serta satu orang yang memilih posisi mencangkung menghadap belakang : Cerewet. Setiap berangkat Cerewet memasang tampang senyum sinis dengan menyedekapkan tangan didada seperti pose-nya jenderal McArthur. Merasa seakan-akan menjadi jenderal bagi keempat rekannya.

”Jom berangkat, sudah jam tujuh ”, kata Cerewet. (kelihatan nulisnya gak konsentrasi ya ? mana ada kosakata melayu dan saat itu belum ada jam-lah, masih pake matahari). Merekapun berangkat, melalui rute yang sama : Hutan Sunyi, Jembatan Buaya, Sekolah. Ulangi : Hutan Sunyi, Jembatan Buaya, Sekolah (ingat Dora gak ya ?!). Setiap melalui hutan sunyi, seperti biasa Cerewet akan berpidato dengan isi gak karu-karuan, mengkritisi sana sini, menghujat si A dan B seakan-akan menjadi Bung Karno yang sedang mengobarkan semangat revolusi. Si Sakit yang memang bertampang sakit selalu dengan licik memanfaatkan situasi untuk kepentingan dirinya. Sedangkan Jumawa yang sangat sok intelek selalu mengejek dan membodoh-bodohkan si Cerewet karena salah diksi, kalimat tidak nyambung, mempertanyakan isi pidato yang sering memasalahkan sesuatu yang tidak masalah karena masalah orgasme intelektual saja. (wah saya dapat masalah nih, masalahnya kalimat tersebut mengandung banyak kata masalah). Dodol, sesuai dengan namanya, memuji-muji si Cerewet agar terlihat mengerti isi pidato, padahal untuk menutupi dodolnya. Bagaimana Bisul ? biasa... karena dia langganan kena bisul menjadi tidak tenang duduknya. Kurang ajarnya, bisul itu selalu tumbuh di pantat, membuat tidak nyaman untuk duduk. Boro-boro mengomentari isi pidato, merasakan sakitnya bisul udah gak ketahan lagi. Pengen marah saja bawaannya. Masih ada satu pelaku, sang pilot. Dia biasa menanggapi semua muntahan bayi-bayi sok dewasa dengan senyum arif orang tua. Tidak ada yang tahu, bahwa sang pilot yang pernah lulus SMP, kenyang dengan pengalaman dan bacaan buku. Pernah merantau ke banyak negeri dan menyeberangi lautan, bertemu dengan bermacam orang dan karakter menjadikan dia sebagai seorang pribadi matang dan mudah memahami orang. Tidak mudah terpancing emosinya. Sumpah serapah tidaklah dibalas dengan email serupa. (dimana sih kejadiannya ? kok ada email segala ?). Tapi yang jelas, menjadi pilot cikar intelek adalah pengabdian kepada desanya, karena lulusan SMP paling tidak bisa menjadi kerani atau klerk.

Kadang-kadang masalah tidak selesai disini, si Cerewet sering mengkritisi (tepat nggak ya ? mungkin lebih tepat mencereweti) apa yang dilakukan oleh pilot. Pilot yang memelankan sapi karena memberikan kesempatan kepada bebek yang akan menyeberang jalan bisa disumpahi sebagai menghambat karier calon pemimpin negara, otoriter karena tidak konsultasi dahulu dengan penumpang, sok sosial dan sok toleran serta seribu satu nama hewan dikebun binatang keluar semua.

Hari ini, penghuni cikar intelek sedang terlibat konflik yang cukup keras ketika cikar harus melalui jembatan buaya. Sang pilot sudah kenyang makan asam garam (kayaknya pepatah yang salah ya ? makan asam dan garam rasanya gak bisa kenyang deh ?). Sang pilot bisa membaca tanda alam. Kesunyian yang tidak biasa, desir angin yang lebih mirip bisikan daripada elusan lembut, tidak ada celotehan itik, atau suara jengkerik. Sepi. Senyap. Sunyi yang mengerikan. Dia merasakan, beberapa puluh meter kedepan, di sekitar jembatan buaya sepertinya akan ada pesta besar-besaran. Pesta lima tahunan. Dari cerita turun temurun memang ada legenda itu, buaya akan menghadang siapa saja yang akan lewat, tetapi yang aneh itu dilakukan hanya sehari dalam setiap lima tahun. Pesta pora buaya yang akan melahap rakyat jelata (eh, manusia).

Tetapi orang-orang dewasa waspada
Buayapun bisa membaca, Jika manusia bisa menerka
Karena itu buaya membuat upaya
Sayangnya manusia tidak tahu, muslihat apa

Sang pilot berpikir cepat
dia membelokkan arah cikar secepat kilat
melalui jalan alternatif dengan medan yang berat,
jarak jangkau pun tiga-empat kali lipat

Para buaya kecewa sekali
jebakannya diketahui
Mangsa didepan sudah lolos dan lari
Keciaaan deh lo, kena batunya kali ini

Tapi buaya terkenal licik dan raja tega
Padahal tekad berpesta sudah membaja
Buaya berpikir akan semua cara
Hati-hatilah hai para manusia

Tetapi efeknya bagi penghuni ato penumpang sungguh tak disangka, semua penumpang protes keras ! Si Bisul yang biasa meringis karena menahan sakit, sekarang tidak bisa lagi sekedar meringis. Jalan yang benjol-benjol membuat sang bisul serasa meletus. ”Pilot kurang ajar !, sengaja ya ?! dendam karena ditolak sama tante gue ya ? udah tahu bokong gue penuh bisul, malah dilewatin jalan yang kelihatan mulus kalau dilihat dari bulan”. Sang Cerewet berkomentar , ”Dasar pilot bodoh, kenapa milih jalan yang ginian, napa ndak milih jalan mulus dan dekat ? coba kalau kalau gue jadi pilotnya”. (pasti ditelan buaya... begitu ya pembaca). ”Sudah gitu, gak pake nanya-nanya atau konsul ke pakarnya lagi ”–sambil nunjuk dadanya sendiri. ”Tul, kata Cerewet, memang pilot bodoh dengan alasan persis seperti tadi”, kata Dodol. Sakit koment, ”Dulu juga apa gua bilang, coba gua yang jadi pilot”. (gak nyambung ya ?. kan Sakit masih kecil. Siapa yang mbisikin untuk nulis kalimat ini ?). Tapi harap dimaklumi pembaca, karena Sakit yang kadang dodol tapi oportunis. Pilot berkomentar singkat,” untuk menyelamatkan kita semua, jalan harus memutar”. Dia tidak bisa berkomentar banyak karena sedang sibuk menghindarkan cikar dari nabrak batu sebesar kepala kerbau atau tunggul beringin yang hampir mati. Tidak peduli pohon apa atau batu segi berapa. Mau segi tiga, empat, lima atau enam beraturan, ini masalah keselamatan cikar intelek, bukan masalah bentuk-bentuk geometris. Tidak peduli warna-warni batu merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu, atau pelangi sekalipun. Sekali lagi masalah keselamatan cikar intelek. Bahkan tidak peduli dengan batu bergambar artis, gambar mayat tokoh besar atau gambar satelit, planet, dan bintang. Tidak juga gambar tumbuh-tumbuhan atau hewan. Atau sekedar coretan-coretan tak bermakna. Ini masalah keselamatan cikar intelek. Bahkan pilot sudah tidak peduli lagi jika nyawa taruhannya (ceileee, romantis sekale...), asal cikar selamat.

Koment singkat itu membuat Cerewet kebakaran rambut (masih SD kan gak punya jenggot ?), ”Hey Pilot geblek, jawab pertanyaan gue. Jangan diam-diam saja, lo kagak punya otak emangnya, dasar kagak sekolah kayak gue”. Cerewet mulai memasang strategi terornya. Pilot yang masih sibuk mengendalikan cikar itu terus konsentrasi untuk keselamatan semua penumpang. Si Cerewet terus berteriak2, si Bisul juga berteriak, salah kebiasaan karena tidak bersih ceboknya ditimpakan ke pilot. Semua tidak puas, tetapi sebenarnya salah siapa ???????

Jumawa berpikir taktis, jangan-jangan si Cerewet jelmaan buaya. Buaya yang menyaru sebagai manusia, alias buaya jadi-jadian. Jangan-jangan ini strategi buaya menjerumuskan cikar intelek dalam jebakan. Diam-diam Jumawa merutuk dalam hati atas kelakuan Cerewet. Jangan-jangan yang menaruh batu-batu bergambar adalah Buaya and the gank, termasuk Cerewet. Kemudian menghasut Bisul untuk ikutan protes, sambil bermuka manis dan dengan dalih demi kepentingan bersama, demi kekompakan cikar intelek, demi independensi, demi kebebasan berpendapat dan demi kian.

Jumawa merasa dipecundangi oleh Cerewet. ”Bullshit, semua”. Tak henti-henti Jumawa merutuk dalam hati, Demi pesta pora para buaya, semua menjadi halal. Cikar hancur tidak mengapa. Pesta dibungkus dengan berbagai macam baju dan asesori yang indah. Ibarat kotoran dibungkus dengan kertas kado.

”Revolusi !!! Revolusi !!!”, teriak Cerewet makin garang. Makin keras melengking, makin kasar dan tidak bermartabat, semakin terlihat keputusasaan dalam nada suaranya karena usahanya untuk mempersembahkan cikar intelek dan seluruh isinya kepada Yang Mulia Raja Buaya semakin mendekati kegagalan.
------

Sudah ah, capek. Sebelum anda bosan membaca, tak sudahi saja ya ? Kalau ada pembaca yang mo nerusin ceritanya dipersilakan.

No comments:

Post a Comment