Sunday, August 23, 2009

POLITISI TIGA WAJAH

Kalau ada kawan-kawan mahasiswa sangat apatis terhadap para politisi bahkan antipati dengan mereka, saya memaklumi. Jika ada kawan-kawan yang mati-matian mendukung politisi, saya juga maklum. Tetapi mengapa ada sikap yang sangat berbeda bahkan bertolak belakang ? Jawabnya adalah mereka melihat politisi dari wajah yang berbeda.

Suatu ketika saya punya sahabat yang mengecam (semua) partai dengan sangat keras. –seperti biasa- saya suka memerankan sebagai lawan diskusi dengan melontarkan antitesis terhadap pandangannya. Usut punya usut ternyata memang dia pernah bergaul rapat dengan suatu partai bahkan sudah seperti bagian dari pengurus itu sendiri. Dia sangat kecewa berat karena partai yang didukung dan digawangi para kiai dan lulusan pesantren itu para pengurus elitnya hanya bicara cara memperoleh uang dan kekuasaan (kemudian untuk memperkaya diri). Dia membayangkan kalau pengurus partai yang puluhan (sekali lagi puluhan, 20 bahkan 30 tahun lebih) hidupnya dihabiskan di pesantren cara berpikirnya seperti itu, bagaimana yang tidak pernah mencicipi pesantren ? atau paling banter hanya beberapa tahun nyantri atau sekolah agama ? Suatu alasan yang masuk akal walaupun masih bisa dibantah.

Ambisi untuk memperoleh suatu yang bersifat keduniaan atau menurut kanjeng nabi dengan tantangan terbesar adalah Harta, Tahta dan ta satunya adalah penyakit kronis yang akan selalu diderita oleh manusia, tentu saja ada kekecualian bagi yang terjaga keimanannya.

Wajah itulah yang dimiliki oleh politisi, sosok ambisius akan pasti tersemat dipundaknya. Wajah inilah yang membuat putus asa tidak hanya para pemikir serta kalangan terpelajar, namun orang paling awam pun tidak akan sampai pada cara berpikir mereka. Sudah mendapat gaji besar, eh masih mengambil uang rakyat yang bukan haknya dengan berbagai dalih. Sudah punya istri cantik dirumah, lho masih menggondol perempuan lain. Rumah tidak cukup satu, masih suka tidur di hotel. Usahanya berderet-deret tetapi masih suka memalak pengusaha.

Melihat ’prestasi’ yang berlimpah ini, masih adakah yang mendukung ? Ada, bahkan banyak. Waduh, kok bisa ya ?! Ya, begitulah kehidupan. Pengikut politisi wajah pertama tentu saja tergolong dalam beberapa klasifikasi : Oportunis, tertipu, atau berwatak sama. Sang oportunis dengan mudah bisa ditemui disekitar kita, demi Rp 50.000 dia mau menyontreng nama tertentu tanpa mau tahu akibat selama lima tahun kedepan. Atau seorang mahasiswa yang menjadi KPPSLN mengucapkan (semoga tidak serius), kita jualan suara yuk. Ntar sepuluh ringgit per suara, kalau kita bisa mencontrengkan seribu suara kita dapat RM 10.000. Sebuah transaksi yang riel dibandingkan membuat spanduk, campaign kit atau iklan.

Golongan kedua adalah orang yang tertipu, tertipu wajah manis mereka. Tertipu oleh janji gombal mereka, atau musang berjas rapi. Sedangkan golongan yang ketiga tentu saja adalah memang sudah satu tim dengan sang politisi.

Wajah kedua adalah wajah politisi pejuang. Orang yang ikut dikecam oleh mahasiswa dan pers karena kelakuan politisi wajah pertama. Tidak mau korupsi walaupun berimplikasi dipojokkan oleh anggota garong yang terhormat. Tidak mampu membeli rumah dari gaji, kecuali mencicil. Atau kalau memiliki mobil yang berharga murah. Yang ada didalam pikiriannya adalah rakyat, rakyat dan rakyat. Hari-harinya habis untuk memperjuangkan undang-undang dan peraturan pro rakyat, mengawal ekskutif dengan disiplin. Menjadi penyambung lidah rakyat. Sangat wajar jika mereka mendapat simpati yang luar biasa dari para intelektual (yang benar). Adakah yang membenci ? tentu saja ada. Mereka yang kepentingannya terganggu, entah peluang korupsi, suap dan perilaku hitam lainnya pasti tidak akan tinggal diam. Black campaign dan jebakan maut akan terus memburu mereka, tidak akan dibiarkan mereka berjalan melenggang.

Wajah ketiga adalah politisi medioker, setengah-setengah. Hitam tidak, putihpun juga tidak (jangan sebut warna lain ntar dikaitkan warna partai). Mereka yang masuk politik hanya karena kecelakaan. Artis terkenal untuk vote getter tanpa konsep dan kapasitas yang memadai, tokoh masyarakat yang terpancing masuk parpol karena sekedar punya massa tanpa visi yang jelas atau tokoh mahasiswa tertipu oleh pimpinan parpol karena pintar berdebat dan janji cepat kaya dan terkenal adalah beberapa diantara daftar panjang orang yang tertipu. Kelakuan mereka yang sering berbuat baik, kadang-kadang menipu rakyat. Atau sering menjerumuskan rakyat dengan peraturan dan undang-undang tanpa menyadari sepenuhnya bahwa apa yang dilakukan sudah menyengsarakan rakyat. Menjadi anggota dewan hanya mengikuti arus dan berdasarkan pengalamannya yang pas-pasan tanpa mau belajar giat untuk mempersembahkan prestasi terbaiknya untuk bangsa.

Lantas bagaimana sikap kita ? Tentu saja tidak fair kalau kita ekstrim kiri dengan menganggap semua politisi jahat kemudian kita golput. Sama tidak fairnya dengan ekstrim sebaliknya menganggap semua politisi baik. Yang penting adalah, menemukan politisi yang benar-benar berjuang untuk rakyat.

No comments:

Post a Comment